Jumat, 03 Juni 2011

TARING PADI "small but itchy"

Malam itu kami mengendarai sepeda motor masing – masing menjelajahi gunung sempu. Semakin dalam kita memasuki area sempu, semakin tajam udara dingin menusuk tulang kami. Setelah cukup lama, lalu kita disambut oleh sebuah rumah yang dengan gagahnya menjulang tinggi. Disanalah mereka, TARING PADI. Rumah yang menjulang tinggi itu tidak seperti rumah kebanyakan, borjuis, dan terlihat modern. Banyak barang – barang seni digeletakkan disana, poster, lukisan, dan beberapa ukiran kayu. 1 gambaran baru terlahir dari olah visual kami : ohhh,rumahnya seniman.

Ucup, Buyung, Bongki, Dina, dan....yah belasan orang lagi yang tak kuingat namanya. Dari obrolan mereka, kutahu bahwa ada beberapa yang baru pulang dari Porong, peringatan 5th bencana lumpur Lapindo. Disanalah kami, mengobrol, bercengkerama, dengan Taring Padi. Beruntungnya kami, hari itu adalah hari Senin, hari dimana anggota Taring Padi berkumpul. Mereka dapat dikatakan bukan guesthouse yang baik, sikapnya kurang hangat ketika menyambut tamu. Sorot matanya cenderung terkesan cuek dengan hadirnya tamu. Meski begitu, mereka tetap menghargai ketika kami berbicara.

Taring padi, wadah seniman yang terlahir dari era reformasi dengan misi peduli pada kehidupan sosial. Small But Itchy, Kata Ucup ketika ditanya filosofi mengenai arti nama mereka. Mereka menginkan komunitas kecil mereka dapat membuat “gatal” siapapun yang tersentuh dengan karya seni mereka.

Mengaku bertujuan membantu kaum yang termarginalkan, karya – karya yang ditelurkan lebih banyak mengkritisi pemerintah. Poster – poster bertuliskan “Suara Kami Tak Bisa Dibeli”, “Memilih atau Tidak adalah Pilihan” hingga “Tampang Sih Oke, Kerja Masak Gitu” terpampang rapi di dinding ruang kerja karya mereka. Beberapa poster mereka kerap muncul di permukaan dengan issue terbaru. Tidak hanya visual art, mereka memiliki “Dendang Kampung”. Dengan lirik yang nakal dan sedikit menyentil pemerintah mereka memainkan nada – nada khas mereka, nada – nada minor dan marginal.

Kepedulian mereka terhadap kehidupan sosial sangat tinggi. Setiap tahunya mereka mengadakan peringatan bencana lumpur Lapindo di Porong. Trauma Healing adalah kegiatan andalan mereka. “Kita ajarin mereka bikin puisi, lirik lagu, nanti pas weekend ada pementasan seni dari kita” begitu tutur Dina, dengan sesekali mengepulkan asap rokoknya ke atas.

Perjuangan mereka untuk tetap berdiri sejak 1998 hingga hari ini dibilang tidak mudah. Dari dicibir Ormas hingga pemerintah pernah mereka lakoni. Bahkan salah satu anggota pernah diculik untuk kemudian diambil ginjalnya oleh salah satu ormas. Dianggap komunis hingga dikira aliran kiri menghiasi perjalanan Taring Padi. “Suara – suara seperti itu sering banged hinggap di telinga kami, tapi masa bodoh” tutur Ucup dengan sorotan mata yang sangat tegas. Beda halnya dengan dicibir, mereka pernah dihatapkani oleh salah satu organisasi politik sebagai “kendaraanya”. Namun merekalah Taring Padi, bukan milik siapa – siapa terkecuali masyarakat minor dan marginal.

Malam sudah semakin larut, gorengan yang dihidangkan sudah dingin terselimuti udara malam. Sadar mereka akan mengadakan sebuah rapat, kami segera pamit. Mengingat juga jauhnya gunung sempu dari peradaban. Kami dioleh – olehi “Terompet Rakyat”. Sebuah majalah komunitas mereka yang berisi suara rakyat. Lukisan, mural, puisi, hingga liirk lagu karya mereka. Sekali, 2 kali jepretan foto bersama menandakan akhirnya pertemuan kami dengan Taring Padi.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar